Gajah adalah makhluk terbesar yang berjalan di daratan bumi. Gajah selalu diidentikkan dengan ukuran besar. Kata “jumbo” yang berarti besar biasa disimbolkan dengan gambar gajah. Pada jaman perang tradisional, tentara gajah begitu menakutkan. Lagi-lagi ukuran gajah yang besar membuat keder tentara manapun yang berhadapan dengannya. Nampaknya berpijak dari asumsi itu juga Abrahah begitu pongah dengan tentara gajahnya hingga berani berniat menghancurkan Ka’bah.
sebagaimana Kisah tentang gajah dan orang buta yang dikutip dari tulisan Jalaluddin Ar-Rumi. Diceritakan bagaiamana ada lima orang buta yang bersama-sama memegang gajah dan bercerita dengan versi yang berbeda.
Ada yang mengatakan gajah itu lonjong seperti tiang besar karena dia memegang kakinya. Ada pula yang bilang gajah seperti kipas karena dia memegang telinganya. Orang buta yang memegang ekornya bercerita bahwa gajah itu seperti cambuk. Yang memegang belalai gajah, beranggapan gajah itu seperti ular besar. Terakhir adalah orang buta yang mengatakan bahwa gajah itu besar, karena dialah yang memegang badannya.
sejatinya manusia hidup di dunia ini layaknya orang buta yang memegang gajah. Bahwa pengetahuan manusia adalah sangat sedikit. Al Quran menceritakan bahwa Allah tidak memberi ilmu kepada manusia kecuali sangat sedikit.
Melalui kisah ini, Rumi secara puitik mengajari anak-anak di seluruh dunia tentang sebuah paradigma penting, bahwa pengetahuan manusia tidak pernah mutlak. Cerita gajah dan orang buta masuk ke dalam mimpi, dan saat anak itu terbangun, dia akan merasa bahwa apa yang dia ketahui masih sangat sedikit. Selanjutnya dia akan berlari ke luar untuk belajar dan terus menambah pundi-pundi pengetahuannya setiap hari.
Entah kebetulan atau tidak, masyarakat Hindu melambangkan Ganesha, Dewa Ilmu Pengetahuan, dengan simbol gajah. Gajah Ganesha inilah kemudian yang menjadi simbol ITB, salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Gajah menjadi simbol ilmu pengetahuan.
Gajah sebagaimana pengetahuan, bisa dilihat dari banyak sisi, bisa dipandang dari banyak sudut. Dan semuanya tidak bisa disalahkan karena memang tidak salah. Bahwa kemampuan manusia hanya melihat sesuai dengan posisi dan jangkauan yang dimiliki. Orang buta yang memegang telinga gajah hanya tahu bahwa gajah mirip dengan kipas. Padahal orang buta lain yang memegang ekornya menganggap gajah mirip dengan cambuk. Wujud gajah menjadi relatif.
Ternyata relativitas itu berlaku juga pada pengetahuan kita sebagai manusia. Ketika pengetahuan manusia belum menjangkau tentang sistem siklus air, banjir adalah sebuah bencana yang misterius. Untuk mencegah bencana ini, tak jarang dilakukan ritual yang tidak masuk akal seperti pengorbanan ayam hitam (baca: ayam cemani) sampai pengorbanan gadis perawan. Namun setelah teori siklus air menjadi pemahaman umum, orang jadi tahu bahwa penebangan hutan secara membabi buta dapat menyebabkan banjir. Oleh karena itu, untuk mencegah banjir orang tak perlu lagi mengorbankan anak gadis, tapi dengan menjaga agar hutan tetap perawan.
Pengetahuan manusia terus berkembang. Satu pengetahuan oleh perputaran waktu kadang dinegasikan tapi tak sedikit pula yang mendapatkan afirmasi. Pengetahuan terikat oleh waktu, karenanya dia menjadi profan.
Rasanya sangat naïf bahkan utopis jika ada seseorang atau satu kelompok yang mengklaim merekalah yang paling benar. Yang lain salah, yang lain primitif, yang lain terbelakang, yang lain bodoh, yang lain kafir, yang lain halal darahnya dan seterusnya. Klaim inilah akar tunjang dari bibit-bibit chauvinisme maupun fanatisme sempit yang sangat mengganggu masyarakat beradab. Pembunuhan, genocide dan terorisme adalah sedikit dari buahnya. Andai saja Hitler memahami cerita gajah dan orang buta dengan baik, sejarah dunia mungkin akan ditulis dengan cerita yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar